Kamis, 20 Desember 2012

[REVIEW] Life Of Pi

Minggu malam senin tepatnya saya membuka twitter, di situ salah satu penulis yang saya follow sebut saja @aMrazing membahas tentang film yang telah dia tonton, bukan hanya dia saja, tetapi teman-temannya juga meributkan tentang film ini.
Saya yang merasa cupu dan gak tau apa-apa, kok tiba-tiba tertarik untuk menontonnya, TANPA tahu lihat sinopsis atau review film-nya. Maklum, saya gak terlalu banyak menghabiskan waktu dengan menonton film atau pergi ke bioskop. Saya adalah hanya tau film-film yang bagus aja, ya sebut saja film superhero gitu, meski gak semua hapal  dan ditonton, sih. pfffft.
Well, balik ke review film ini (baca judul). Masih bertanya-tanya, ini tuh film apa? kok sampe happening gitu, akhirnya, saya memutuskan *bukan tali persaudaraan* untuk menonton pada hari senin pagi.
Berangkatlah ke studio XXI Empire, meski takjub ternyata diputer dalam format 3D (yah, berkurang jatah makan saya *pukpuk dompet*). Di situ saya ditonton bersama 3 orang teman. Pertanyaan yang muncul adalah, saya sendiri bingung ini film apa, eh malah ditanya sama teman, film tentang apa? saya bingung juga jawabnya.
-----------------------------------------batas basa basi busuk---------------------------------------------
Poster (credit by google picture)
Film ini denger-denger adalah diangkat dari novel yang berjudul sama Life Of Pi dengan penulis Yann Martel (setelah googling :p) dengan durasi 127 menit, diperankan oleh aktor berdarah India bernama Suraj Sarma (Pi muda) dan Irfan Khan (Pi dewasa) disutradarai oleh Ang Lee. Kalau belum tahu siapa itu Ang Lee, dia pernah menyutradarai film Brokeback Mountain (2005).
Film ini berkisah tentang kehidupan Pi yang bernama lengkap Piscine Molitor Patel yang tinggal bersama keluarganya yang memiliki kebun binatang di India yang merupakan milik dari Santosh Patel (Adill Hussain) yang bukan lain adalah ayah Pi dan Ibunya Pi merupakan seorang ahli Botani bernama Gita Patel (Tabu). Pi merupakan anak bungsu dari kakak yang bernama Ravi Patel. Di keluarganya Pi merupakan seorang penganut agama Hindu, namun ayahnya adalah seorang Atheist. 
Menurut saya ini adalah film yang benar-benar paket komplit, visualisasi, petualangan, drama, dan hakikat dari film ini sendiri bisa dinikmati. Bukan karena saya menonton karena formatnya 3D, jadi saya menilai film ini bagus, coba dan rasakan sendiri bagaimana imajinasi film ini membawa kita ke jagad raya yang penuh dengan cahaya.
Well, pada masa mudanya, Pi selalu dicemooh oleh kawan-kawannya, karena memiliki nama Piscine karena dikait-kaitkan dengan pembuangan air kencing. Namun, Pi tak tinggal diam untuk membuktikan dan menghentikan ejekan dari teman-temannya. Diambilah nama Pi dengan membuktikan dari bilangan irasional dalam matematika yang disebut "Pi" juga. Saya sempat terkejut dan wow banget, dia hapal berapa angka-angka dalam bilangannya itu.
Sebenarnya tidak hanya di sini, Pi juga memiliki hasrat dengan pencarian Tuhannya, meski Pi hidup berasal dari keluarga Hindu. Pi mencari arti Tuhan dari beberapa agama yaitu Khatolik dan Islam. Bukan, bukan untuk membanding-bandingkan, karena Pi percaya karena keberadaan Tuhan itu sendiri. Pandangan ini memunculkan pada keimanan kita.
Konflik terjadi ketika ayah Pi berencana untuk pindah ke Kanada dan menjual binatangnya. Semua keluarganya pindah dan menggunakan kapal laut dari India dan membawa binatang-binatangnya. Saat berada pada peraiaran Pasifik yang ganas, terjadilah badai, sayang sekali hanya Pi yang selamat dari amukan badai di laut di atas kapal sekoci bersama hewan-hewan yang tersisa dan di antaranya adalah Richard Parker alias Harimau Bangli. 
Dalam keadaan seperti ini keimanan Pi diuji, berada di atas kapal selama 227 hari dengan bekal makanan yang seadaanya dan seekor harimau. Saya teringat, ketika Pi harus menghadapi seekor harimau yang ganas, bahwa "harimau tidak bisa menjadi teman, namun bisa dilatih". Selain itu, petualangan terdampar di tengah laut ini membawa kesan sendiri bagi saya, visualisasi yang begitu indah, petualangan yang penuh ujian dan godaan, oia, meski Pi telah dibaptis menjadi Khatolik, namun Pi tetap vegan dan masih percaya dewa-dewa Hindu. 
Di sinilah saya belajar, seberapa tangguhkah iman seseorang apabila diuji dalam kondisi yang seperti itu, apa harus menyalahkan Tuhan atau tetap percaya akan keberadaan Tuhan untuk tetap minta pertolonganNya. Terdengar tidak masuk akal juga apabila kita benar-benar seperti itu, namun di akhir cerita film ini ada dua cerita Pi yang dijabarkan, namun dari sudut pandang saya, ini membawa pesan bahwa hidup ini terkadang tidak masuk akal dengan percaya akan adanya Tuhan namun berkesan daripada tidak percaya akan adanya Tuhan.
Most recommended I ever watched and I beg you to watch it. Kamu gak akan nyesel untuk menontonnya, terlebih lagi apabila posisi kita yang berada dalam ombang-ambing karena terkesan selalu mengagungkan logika dan mulai goyah keimanannya. Percaya Tuhan itu ada. 
Meski saya hanya penikmat film dan bukan pengkritik, saya juga menikmati ceritanya dan pesan yang bisa saya ambil. Saya memberi rating pada film ini sebesar: 4 dari 5.

Minggu, 16 Desember 2012

MENAKLUKAN ANJANI DALAM DERU BADAI DI BUMI PERTIWI


Kalau bicara soal Indonesia, seraya otak yang bekerja dalam pikiran adalah sebuah bangsa yang besar, mereka dan tak kalah penting juga bahwa Indonesia itu indah. Keindahannya bisa kita lihat dari gugusan kepulauan yang nampak elok, dari Sabang hingga Merauke. Tak hanya itu Indonesia terkenal juga akan budaya dan keanekaragaman sukunya. Bagiku, tanah air ini cantik sekali, termasuk keindahan alamnya seperti laut, pantai dan gunung. Eits, Mendengar kata gunung ingatanku membawa ke beberapa bulan belakangan ini.
“Akhirnya, para penikmat pemandangan alam tapi bukan pecinta alam siap mendaki gunung tertinggi kedua di Indonesia” Seru Wayan setibanya di pulau Lombok “lihat, itu Rinjani, kan? Soalnya gunung ini hampir 2/3-nya dari pulau Lombok” lanjutnya sembari menunjuk arah gunungnya saat dalam mobil.
apalah ini/ :))
Gunung Rinjani? Tertinggi kedua di Indonesia? Pemula? Itulah kami, karena keantusiasannya dengan alam ini, kami relakan jatah beberapa hari liburan untuk berpetualang. Dengan bangganya keenam anak manusia yang jauh-jauh menyebrang lautan dari Jogjakarta untuk menemui si cantik Rinjani dengan tegap menjulang dengan ketinggian 3726 mdpl di pulau tersebut. Bersama 3 orang sahabat lain dari Lombok maka petualangan pun dimulai.
“Nu, nanti jalannya santai aja, ya?aku takut gak kuat” pinta Cungil padaku.
“Oke, santai” jawabku singkat.
“Dengar-dengar dari temanku, jalur Sembalun ini adalah jalur yang paling ‘manusiawi’ loh” lanjutnya.
“Ya syukur, deh” kataku sambil menunggu waktu di RTC Sembalun dan mendaftar ke pos tersebut sebagai pendaki resmi.
Lima belas menit perjalanan kamipun dimulai dan masih semangat sampai beberapa jam kemudian, kami melihat keindahan alam khas pegunungan. Benar. Padang savanna yang mulai menguning, bak permadani yang sangat luas, keindahan Tuhan yang telah  diberikan bagi Indonesia. Mengingat pada bulan pendakian tersebut adalah musim kemarau. Bayanganku tertuju saat beberapa literatur yang menjelaskan pada ilmu geografi tentang vegetasi endemik daerah pegunungan. Oh iya, karena Indonesia adalah suatu wilayah ring of fire tak heran jika banyak dijumpai berbagai gunung-gunung berapi di wialayah ini.
Gunung-gunung berapi ini menarit banyak minat bagi para kalangan tertentu tak terkecuali para ilmuwan yang mendalami ilmu vulkanologi dan para pelancong baik domestik dan mancanegara. Sejarah duniapun mencatat pada kejadian alam saat gunung Krakatau meletus yang membuat seluruh penjuru dunia tertutup kabut gelap selama beberapa hari dan memunculkan anak gunung Krakatau. Sama halnya dengan Krakatau, gunung Rinjanipun pernah erupsi dan sisa-sisanya memunculkan keistimewaan yang lain, yaitu gunung Si Jari dan danau Sagara Anakan yang mengelilinginya dan berwarna hijau toska. Cantik!
“Ayo, kita siap mendaki lagi, sudah diisi, kan, perutnya?”  Semangat bang Udin pada kami berenam dan dia adalah pendaki yang berpengalaman di Rinjani setelah bermalam di pos pertama karena kami telah membunuh waktu.
Meskipun aku bukan seorang mahasiswa pecinta alam, namun prinsip-prinsip pendakian tetap dijaga, yang berisi:
Jangan mengambil apapun, kecuali gambar. Jangan meninggalkan apapun, kecuali jejak. Jangan membunuh apapun, kecuali waktu
 “Semangka! Semangat Kakak!” Seru Mbak Ika yang menyemangati kami terus menerus saat beberapa di antara kami mulai kecapekan.
“Semangka!!” Dengan lantang Eriana, Ari dan Aku menjawab.
Pukul 6 sore kamipun memasuki area perkemahan di Plawangan yang letaknya sudah tidak jauh dari puncak Rinjani. Udara dingin pun mulai menusuk seluruh badan, semua dari kami sudah membalut badannya dengan jaket yang tebal, menutupi seluruhnya agar tetap terjaga kehangatan.
“Waw!” Takjub mbak Ika.
“Eh, Poto-poto dulu sini?!” Pintaku
Beberarapa di antara kami ada yang mengabadikannya lewat kameranya dan Ari menelpon keluarganya dan memberi kabar pada mereka bahwa keberadaannya. Setelahnya, kami menuju tempat kamp.
Sembari memasang tenda dan mencari sumber air, aku melihat-lihat sekitar kamp ternyata bukan hanya dari Indonesia saja yang datang ke sini, namun banyak di antara mereka adalah turis asing. Merekapun tidak sabar untuk mendaki ke puncak Anjani dengan semangat.
“Nanti, kita muncak jam 2 pagi, jadi, setelah kalian makan, tidurlah” saran bang Fuad.
“Oia, nanti jangan lupa bawa air minum juga” tambah bang Udin “Cungil, nanti mau ikut muncak, enggak?”
“hm..enggak, deh, bang!” sahutnya.
Kebetulan, saat awal perjalanan, Cungil-lah yang sedikit berubah fikiran.
Sembari menikmati malam di dekat tenda, aku, Wayan, dan Cungil melihat ke angkasa. Semesta yang sulit didapat ketika kita berada di tengah kota. Menebak rasi bintang-bintang angkasa, hamparan luas bagai perhiasan yang mengkilap. Selain itu, kelap-kelip lampu dari pemukiman penduduk daerah kaki pegunungan Rinjani yang tak kalah cantik, membuat suasana yang nyaman. Setelahnya kami pun pergi tidur ke tenda.
“Bangun, bangun! Sudah jam 2, jadi mau pada muncak, gak?” Suara tenda sebelah membangunkan aku.
“Sudah siap?” Tanya bang Udin pada kami yang akan muncak.
“Sudah!” kami menjawab dengan menggigil kedinginan.
“Semangka!” Seru bang Udin.
“…” tak ada satupun dari kami menjawabnya.
Perjalanan menuju puncak Anjani pada pukul 2 adalah perjalanan yang sangat gelap dan hanya lampu senter yang menerangi kami. Beberapa pendaki yang lain pun siap menuju medan pertempuran.
Saat mendaki, pikiranpun melayang, mengingat kasur, guling dan kamarku di Jogja. Ada sedikit penyesalan pada waktu itu. Namun, karena tekad yang kuat, zona nyaman aku tinggalkan.
Dalam menuju Anjani bersama-sama pendaki yang lain, perjalanan lebih berat dari medan sebelumnya. Jalannya berpasir, licin, dan butuh tenaga yang lebih untuk terus mempertahankan posisi. Karena, semakin besar melangkah, kaki kita akan merosot kembali karena kerikil-kerikil dari sisa erupsi. Beberapa menit kami sempat beristirahat untuk sekedar minum air atau menguyah coklat choky-choky  untuk menambah stamina.
w/ mbak Ika 

Pernah aku mendengar, “Belum ke Lombok, kalau belum pernah mendaki gunung Rinjani”. Tentunya karena selain Lombok memiliki pantai-pantai yang cantik seperti Kuta, Tanjung Aan, Gili Trawangan dll. namun, lihatlah, Rinjani menyapa saat memasuki Lombok dengan tinggi menjulang. Kini, kurasakan butuh peluh dan keringat untuk mencapainya.
Waktu pun tak terasa sudah mulai memasuki pukul 4 pagi, aku dan teman-teman yang lain masih berjuang demi sang Anjani dalam menyapa terbitnya sang Surya. Meski perjalanan kami ke sana belum ada setengahnya. Aku terus berusaha. Aku capek. Aku Istirahat. Begitulah kira-kira adanya.
Setelah beristirahat beberapa menit karena tenaga yang terkuras. Temanku Ari ternyata lebih dulu di depan beserta bang Fuad yang membawa persediaan air. Disaat beberapa temanku mulai kehausan, sudah tidak berbuat apa-apa lagi terkecuali cepat menyusul yang ada di depan kami.
Entah mengapa setelah beberapa meter menuju puncak, medan terus miring dengan beberapa pemandangan batu-batu besar. Aku tak peduli, yang terpenting terus berjalan. Terus melangkahkan kaki, meski tenggorokan sudah kering dan tenaga mulai menunjukkan indikator ‘siaga’.
Jemari tanganku mulai terasa membeku, tak bisa bergerak sama sekali karena dinginnya suhu puncak. Aku berinisiatif saling menggemgam tangan mbak Ika, untuk menurunkan suhu dingin. Angin mulai berhembus kencang. Aku, Eriana, dan mbak Ika melindungi diri di batu sangat besar, menghalau datangnya angin.
Kami bertiga sudah tidak bisa bergerak, terus berlindung di batu besar dengan tenaga yang menurun. Seakan-akan angin terus menusuk dinding pertahananku. Dingin. Sangat dingin. Namun, saat angin berhembus kencang, aku mulai merasakan datangnya kehangatan. Ya. Kehangatan dari munculnya sang Surya. Masih terselimut awan, sinarnya seakan membawa kerinduan yang tersalurkan. Akhirnya, terbitlah sang Surya. Namun, pada saat kami bertiga akan terus menuju puncak, beberapa orang turun seraya berteriak, “ada badai, turun!”. Akupun terkejut dan ternganga. Beberapa orang pun yang telah dan akan menuju puncak turun.
Bergaya ala-ala jalur pulang Plawangan-Senaru
Ternyata, untuk menaklukan sang Anjani memang sulit, entah manusia super seperti apa yang bisa menaklukan dia. Mungkin, memiliki tenaga yang kuat saja belum tentu dapat ditaklukan. Apakah sang Anjani marah pada saat itu? Sehingga mendatangkan badai? Entahlah, menurutku ini adalah sebuah pengalaman berharga dan berkesan dalam pendakian menaklukan Anjani. Bukanlah kesombongan atau kebanggaan apabila telah menaklukan puncak, namun, pelajaran berharga yang didapat, agar apabila kelak telah meraih puncak tertinggi, kita jangan pernah merasa puas meraihnya. Sesungguhnya pula puncak sejati bukan berada pada tingginya suatu titik, tetapi bagaimana kita terus berupaya mencapainya agar mengetahui bagaimana jalan menjadi lebih baik.
Pada akhirnya, setelah pendakian menuju puncak yang belum beruntung, kami melanjutkan perjalanan menuju danau Sagara anak yang tepat berada di bawah kamp Plawangan, untuk sekedar menikmati alam dan berbagi dengannya.
Indonesia, kamu masih menyimpan misteri keindahan yang terus menjadi pusat perhatian bagi banyak orang. Terima kasih atas keindahan yang telah diciptakan bagi bumi Indonesia, Tuhan. Perjalanan masih akan terus kami lanjutkan. Terus. Dan terus.
they are adventurous :)

SALAM LESTARI

Sabtu, 15 Desember 2012

[REVIEW] 5 cm. The Movie

3/5
Sebenarnya saya agak kurang suka kalau sebuah novel fiksi atau non-fiksi difilmkan, sik. Tapi, untuk memajukan perfilman Indonesia, no problem, heh

Awalnya agak ragu juga nonton film 5 cm. ini, karena di antara film-film yang diputar di Empire XXI ada beberapa film yang sudah dan ingin sekali ditonton, awalnya sik mau nonton The Hobbit: Unexpected journey, tapi karena kebetulan teman-teman yang lain pengin nonton ini, yaweslah...ditonton juga. Mumpung hari Jumat kan ye....Jadwalnya Movie Freeday by Simpati dan bener-bener FREE, man! Sayangnya The Hobbit 3D, sik. Sempat juga ketika mengantri ada sedikit tragedi gak-pake-berdarah hanya sindir-menyindir bin nyolot-menyolot, maklum, saya membawa pasukan ksatria power rangers, jadi, maaf-maaf ya kalau yang  tidak kebagian voucher nonton dari Simpatinya, soalnya power rangers ini satu orang bawa 2-3 handphone. But finally, antri juga 1 orang 1 handphone dan semua power rangers ini mengumpul semacem upil gitu, paling depan pula. Oke, back to the Review

Film yang berdurasi 126 menit yang diadaptasi dari novel karya Donny Dhirgantoro yang berjudul sama  ini diperankan oleh beberapa aktor utama yang dibintangi oleh Herjunot Ali (Zafran), Fedi Nuril (Genta), Igor Saykoji (Ian),  Raline Shah (Riani), Denny Sumargo (Arial), dan Pevita Pearce (Arinda). Disutradari mas Rizal Mantovani ini sebenernya premier-nya tanggal 12-12-2012 dikala orang-orang ribut doomsday gitu, deh. Malahan gak jadi, tuh. Ramalan suku Maya yang salah, apa orang-orangnya yang terlalu percaya, wes sing penting nonton, tho....

Mungkin, ada beberapa teman yang sudah khatam baca Qur'an, eh, maksudnya novelnya ( tidak termasuk saya :p) bertanya-tanya atau penasaran atau jadi mengecewakan setelah menonton filmnya. Menurut saya, sik. Soalnya orang-orang perfilman udah mencoba untuk menyamakan persepsi dan memunculkan satu sudut pandang. Dari kelima tokoh ini menurut saya, si sutrada sudah tepat mengambil cerita dari sudut pandang karakter Zafran di antara tokoh-tokoh lainnya.

Ceritan dari film ini totalitas adalah sebuah persahabatan, motivasi, dan cinta. Jikalau ingin melariskan sebuah novel remaja yang memotivasi dan ingin difilmkan, sepertinya para penulis harus buat genre yang seperti ini, maklum, orang Indonesia kan butuh motivasi, ya enggak, men? Balik lagi tentang film ini. Ada hal-hal yang agak janggal dari film ini, bagi yang belum membaca novelnya, pasti berfikir, apa hubungannya poster yang berjudul 5cm. dengan orang-orang mendaki gunung. Ada beberapa tokoh juga yang mendominasi, seperti Zafran, Genta, Ian, sedangkan yang lain hanya numpang lewat? Atau karena tokoh Zafran adalah sang pemeran utama? 

Dari segi soundtrack pengisi lagu adalah Nidji dan sepertinya Nidji laris manis juga dalam membuat lagu-lagu soundtrack. Karena sebelumnya sukses juga menjadi pengisi soundtrack film Laskar Pelangi yang notabene film motivasi juga, at least dipercaya jadi agen perubahan, yaelaaah, masuk partai nasdem aja sekalian, terus dibikin deh jingle-nya. hoho....

Pernah mikir, gak? Kenapa si Genta ngajak ke gunung Semeru, bukan ke tempat lain? selain karena dari posternya yang gambar gunung, ya.... Bukannya kalau naik gunung itu setidaknya pernah ke sana atau pake guide. Maka dari itu, untuk pemula rasanya agak mengerutkan alis mata mengajak ke Semeru.

At least, ceritanya Indonesia banget, Mario Teguh pun kini mendapat saingan. hehe...High Motivated bagi para remaja yang galau masa depan (termasuk saya, mungkin), quote-nya orisinal (meski di novelnya, enggak. pffft), lugas, tegas, dan menjanjikan (sepertinya), dan muncul humor-humor ala ala remaja. Dari sinematografinya bagi saya cukup istimewa, karena menampakan keindahan gunung Semeru, kebetulan saya juga adalah penikmat gunung, jadi terkesan takjub pada sinematografinya. Entah, berapa kru film yang harus bolak-balik turun gunung, berapa aktor yang pernah tumbang di Semeru. 

Eits, ada yang ketinggalan, memang sih agak aneh, ketika mendaki menuju gerbang pos hingga Ranu Kumbolo, Kali Mati dan Arcopodo para aktor di situ minum air dan kurang air minum, tapii....kenapa pas mendaki ke puncak yang notabene lebih dingin dan si Ian terguling hingga pingsan, tidak ada satupun yang membawa air minum. Saat menuju puncak pun, tidak di-shoot pendaki yang lain tapi tiba-tiba saat di puncak, nah loh. You gotta watch it, guys!

Di akhir cerita kita disuguhkan oleh cerita cinta yang istimewa menurut saya karena berupa twist slot, cinta terkadang sulit ditebak, ya. Begitulah kira-kira cinta. Saya suka dengan twist slot ini, namun sayang sekali, saat scene akan berakhir, saya tak terlalu suka ceritanya. Karena lagi-lagi prolog dari pemeran utama dan pemeran utamalah memang juaranya. (pukpuk malaikat, kamu sekarang bukan juara lagi ya )

Review ini hanya sekedar gambaran singkat saja, bukan untuk menjatuhkan atau menaikkan pamor film itu, karena hal ini adalah murni sudut pandang saya. Ada hal yang membuat saya berkaca-kaca dalam adegan ini dari persahabatan dan pemandangan alam gunung Semeru, memang tidak mudah menjalin persahabatan, tidak apa kita memiliki teman sedikit namun akrab daripada banyak teman tapi tidak akrab, begitu kira-kira. Maka dari itu, saya member nilai : 3 dari 5