Minggu, 16 Desember 2012

MENAKLUKAN ANJANI DALAM DERU BADAI DI BUMI PERTIWI


Kalau bicara soal Indonesia, seraya otak yang bekerja dalam pikiran adalah sebuah bangsa yang besar, mereka dan tak kalah penting juga bahwa Indonesia itu indah. Keindahannya bisa kita lihat dari gugusan kepulauan yang nampak elok, dari Sabang hingga Merauke. Tak hanya itu Indonesia terkenal juga akan budaya dan keanekaragaman sukunya. Bagiku, tanah air ini cantik sekali, termasuk keindahan alamnya seperti laut, pantai dan gunung. Eits, Mendengar kata gunung ingatanku membawa ke beberapa bulan belakangan ini.
“Akhirnya, para penikmat pemandangan alam tapi bukan pecinta alam siap mendaki gunung tertinggi kedua di Indonesia” Seru Wayan setibanya di pulau Lombok “lihat, itu Rinjani, kan? Soalnya gunung ini hampir 2/3-nya dari pulau Lombok” lanjutnya sembari menunjuk arah gunungnya saat dalam mobil.
apalah ini/ :))
Gunung Rinjani? Tertinggi kedua di Indonesia? Pemula? Itulah kami, karena keantusiasannya dengan alam ini, kami relakan jatah beberapa hari liburan untuk berpetualang. Dengan bangganya keenam anak manusia yang jauh-jauh menyebrang lautan dari Jogjakarta untuk menemui si cantik Rinjani dengan tegap menjulang dengan ketinggian 3726 mdpl di pulau tersebut. Bersama 3 orang sahabat lain dari Lombok maka petualangan pun dimulai.
“Nu, nanti jalannya santai aja, ya?aku takut gak kuat” pinta Cungil padaku.
“Oke, santai” jawabku singkat.
“Dengar-dengar dari temanku, jalur Sembalun ini adalah jalur yang paling ‘manusiawi’ loh” lanjutnya.
“Ya syukur, deh” kataku sambil menunggu waktu di RTC Sembalun dan mendaftar ke pos tersebut sebagai pendaki resmi.
Lima belas menit perjalanan kamipun dimulai dan masih semangat sampai beberapa jam kemudian, kami melihat keindahan alam khas pegunungan. Benar. Padang savanna yang mulai menguning, bak permadani yang sangat luas, keindahan Tuhan yang telah  diberikan bagi Indonesia. Mengingat pada bulan pendakian tersebut adalah musim kemarau. Bayanganku tertuju saat beberapa literatur yang menjelaskan pada ilmu geografi tentang vegetasi endemik daerah pegunungan. Oh iya, karena Indonesia adalah suatu wilayah ring of fire tak heran jika banyak dijumpai berbagai gunung-gunung berapi di wialayah ini.
Gunung-gunung berapi ini menarit banyak minat bagi para kalangan tertentu tak terkecuali para ilmuwan yang mendalami ilmu vulkanologi dan para pelancong baik domestik dan mancanegara. Sejarah duniapun mencatat pada kejadian alam saat gunung Krakatau meletus yang membuat seluruh penjuru dunia tertutup kabut gelap selama beberapa hari dan memunculkan anak gunung Krakatau. Sama halnya dengan Krakatau, gunung Rinjanipun pernah erupsi dan sisa-sisanya memunculkan keistimewaan yang lain, yaitu gunung Si Jari dan danau Sagara Anakan yang mengelilinginya dan berwarna hijau toska. Cantik!
“Ayo, kita siap mendaki lagi, sudah diisi, kan, perutnya?”  Semangat bang Udin pada kami berenam dan dia adalah pendaki yang berpengalaman di Rinjani setelah bermalam di pos pertama karena kami telah membunuh waktu.
Meskipun aku bukan seorang mahasiswa pecinta alam, namun prinsip-prinsip pendakian tetap dijaga, yang berisi:
Jangan mengambil apapun, kecuali gambar. Jangan meninggalkan apapun, kecuali jejak. Jangan membunuh apapun, kecuali waktu
 “Semangka! Semangat Kakak!” Seru Mbak Ika yang menyemangati kami terus menerus saat beberapa di antara kami mulai kecapekan.
“Semangka!!” Dengan lantang Eriana, Ari dan Aku menjawab.
Pukul 6 sore kamipun memasuki area perkemahan di Plawangan yang letaknya sudah tidak jauh dari puncak Rinjani. Udara dingin pun mulai menusuk seluruh badan, semua dari kami sudah membalut badannya dengan jaket yang tebal, menutupi seluruhnya agar tetap terjaga kehangatan.
“Waw!” Takjub mbak Ika.
“Eh, Poto-poto dulu sini?!” Pintaku
Beberarapa di antara kami ada yang mengabadikannya lewat kameranya dan Ari menelpon keluarganya dan memberi kabar pada mereka bahwa keberadaannya. Setelahnya, kami menuju tempat kamp.
Sembari memasang tenda dan mencari sumber air, aku melihat-lihat sekitar kamp ternyata bukan hanya dari Indonesia saja yang datang ke sini, namun banyak di antara mereka adalah turis asing. Merekapun tidak sabar untuk mendaki ke puncak Anjani dengan semangat.
“Nanti, kita muncak jam 2 pagi, jadi, setelah kalian makan, tidurlah” saran bang Fuad.
“Oia, nanti jangan lupa bawa air minum juga” tambah bang Udin “Cungil, nanti mau ikut muncak, enggak?”
“hm..enggak, deh, bang!” sahutnya.
Kebetulan, saat awal perjalanan, Cungil-lah yang sedikit berubah fikiran.
Sembari menikmati malam di dekat tenda, aku, Wayan, dan Cungil melihat ke angkasa. Semesta yang sulit didapat ketika kita berada di tengah kota. Menebak rasi bintang-bintang angkasa, hamparan luas bagai perhiasan yang mengkilap. Selain itu, kelap-kelip lampu dari pemukiman penduduk daerah kaki pegunungan Rinjani yang tak kalah cantik, membuat suasana yang nyaman. Setelahnya kami pun pergi tidur ke tenda.
“Bangun, bangun! Sudah jam 2, jadi mau pada muncak, gak?” Suara tenda sebelah membangunkan aku.
“Sudah siap?” Tanya bang Udin pada kami yang akan muncak.
“Sudah!” kami menjawab dengan menggigil kedinginan.
“Semangka!” Seru bang Udin.
“…” tak ada satupun dari kami menjawabnya.
Perjalanan menuju puncak Anjani pada pukul 2 adalah perjalanan yang sangat gelap dan hanya lampu senter yang menerangi kami. Beberapa pendaki yang lain pun siap menuju medan pertempuran.
Saat mendaki, pikiranpun melayang, mengingat kasur, guling dan kamarku di Jogja. Ada sedikit penyesalan pada waktu itu. Namun, karena tekad yang kuat, zona nyaman aku tinggalkan.
Dalam menuju Anjani bersama-sama pendaki yang lain, perjalanan lebih berat dari medan sebelumnya. Jalannya berpasir, licin, dan butuh tenaga yang lebih untuk terus mempertahankan posisi. Karena, semakin besar melangkah, kaki kita akan merosot kembali karena kerikil-kerikil dari sisa erupsi. Beberapa menit kami sempat beristirahat untuk sekedar minum air atau menguyah coklat choky-choky  untuk menambah stamina.
w/ mbak Ika 

Pernah aku mendengar, “Belum ke Lombok, kalau belum pernah mendaki gunung Rinjani”. Tentunya karena selain Lombok memiliki pantai-pantai yang cantik seperti Kuta, Tanjung Aan, Gili Trawangan dll. namun, lihatlah, Rinjani menyapa saat memasuki Lombok dengan tinggi menjulang. Kini, kurasakan butuh peluh dan keringat untuk mencapainya.
Waktu pun tak terasa sudah mulai memasuki pukul 4 pagi, aku dan teman-teman yang lain masih berjuang demi sang Anjani dalam menyapa terbitnya sang Surya. Meski perjalanan kami ke sana belum ada setengahnya. Aku terus berusaha. Aku capek. Aku Istirahat. Begitulah kira-kira adanya.
Setelah beristirahat beberapa menit karena tenaga yang terkuras. Temanku Ari ternyata lebih dulu di depan beserta bang Fuad yang membawa persediaan air. Disaat beberapa temanku mulai kehausan, sudah tidak berbuat apa-apa lagi terkecuali cepat menyusul yang ada di depan kami.
Entah mengapa setelah beberapa meter menuju puncak, medan terus miring dengan beberapa pemandangan batu-batu besar. Aku tak peduli, yang terpenting terus berjalan. Terus melangkahkan kaki, meski tenggorokan sudah kering dan tenaga mulai menunjukkan indikator ‘siaga’.
Jemari tanganku mulai terasa membeku, tak bisa bergerak sama sekali karena dinginnya suhu puncak. Aku berinisiatif saling menggemgam tangan mbak Ika, untuk menurunkan suhu dingin. Angin mulai berhembus kencang. Aku, Eriana, dan mbak Ika melindungi diri di batu sangat besar, menghalau datangnya angin.
Kami bertiga sudah tidak bisa bergerak, terus berlindung di batu besar dengan tenaga yang menurun. Seakan-akan angin terus menusuk dinding pertahananku. Dingin. Sangat dingin. Namun, saat angin berhembus kencang, aku mulai merasakan datangnya kehangatan. Ya. Kehangatan dari munculnya sang Surya. Masih terselimut awan, sinarnya seakan membawa kerinduan yang tersalurkan. Akhirnya, terbitlah sang Surya. Namun, pada saat kami bertiga akan terus menuju puncak, beberapa orang turun seraya berteriak, “ada badai, turun!”. Akupun terkejut dan ternganga. Beberapa orang pun yang telah dan akan menuju puncak turun.
Bergaya ala-ala jalur pulang Plawangan-Senaru
Ternyata, untuk menaklukan sang Anjani memang sulit, entah manusia super seperti apa yang bisa menaklukan dia. Mungkin, memiliki tenaga yang kuat saja belum tentu dapat ditaklukan. Apakah sang Anjani marah pada saat itu? Sehingga mendatangkan badai? Entahlah, menurutku ini adalah sebuah pengalaman berharga dan berkesan dalam pendakian menaklukan Anjani. Bukanlah kesombongan atau kebanggaan apabila telah menaklukan puncak, namun, pelajaran berharga yang didapat, agar apabila kelak telah meraih puncak tertinggi, kita jangan pernah merasa puas meraihnya. Sesungguhnya pula puncak sejati bukan berada pada tingginya suatu titik, tetapi bagaimana kita terus berupaya mencapainya agar mengetahui bagaimana jalan menjadi lebih baik.
Pada akhirnya, setelah pendakian menuju puncak yang belum beruntung, kami melanjutkan perjalanan menuju danau Sagara anak yang tepat berada di bawah kamp Plawangan, untuk sekedar menikmati alam dan berbagi dengannya.
Indonesia, kamu masih menyimpan misteri keindahan yang terus menjadi pusat perhatian bagi banyak orang. Terima kasih atas keindahan yang telah diciptakan bagi bumi Indonesia, Tuhan. Perjalanan masih akan terus kami lanjutkan. Terus. Dan terus.
they are adventurous :)

SALAM LESTARI