Kalau
bicara soal Indonesia, seraya otak yang bekerja dalam pikiran adalah sebuah
bangsa yang besar, mereka dan tak kalah penting juga bahwa Indonesia itu indah.
Keindahannya bisa kita lihat dari gugusan kepulauan yang nampak elok, dari
Sabang hingga Merauke. Tak hanya itu Indonesia terkenal juga akan budaya dan
keanekaragaman sukunya. Bagiku, tanah air ini cantik sekali, termasuk keindahan
alamnya seperti laut, pantai dan gunung. Eits, Mendengar kata gunung ingatanku
membawa ke beberapa bulan belakangan ini.
“Akhirnya,
para penikmat pemandangan alam tapi bukan pecinta alam siap mendaki gunung
tertinggi kedua di Indonesia” Seru Wayan setibanya di pulau Lombok “lihat, itu
Rinjani, kan? Soalnya gunung ini hampir 2/3-nya dari pulau Lombok” lanjutnya
sembari menunjuk arah gunungnya saat dalam mobil.
apalah ini/ :)) |
Gunung
Rinjani? Tertinggi kedua di Indonesia? Pemula? Itulah kami, karena
keantusiasannya dengan alam ini, kami relakan jatah beberapa hari liburan untuk
berpetualang. Dengan bangganya keenam anak manusia yang jauh-jauh menyebrang
lautan dari Jogjakarta untuk menemui si cantik Rinjani dengan tegap menjulang
dengan ketinggian 3726 mdpl di pulau tersebut. Bersama 3 orang sahabat lain
dari Lombok maka petualangan pun dimulai.
“Nu,
nanti jalannya santai aja, ya?aku takut gak kuat” pinta Cungil padaku.
“Oke,
santai” jawabku singkat.
“Dengar-dengar
dari temanku, jalur Sembalun ini adalah jalur yang paling ‘manusiawi’ loh”
lanjutnya.
“Ya
syukur, deh” kataku sambil menunggu waktu di RTC Sembalun dan mendaftar ke pos
tersebut sebagai pendaki resmi.
Lima
belas menit perjalanan kamipun dimulai dan masih semangat sampai beberapa jam
kemudian, kami melihat keindahan alam khas pegunungan. Benar. Padang savanna yang
mulai menguning, bak permadani yang sangat luas, keindahan Tuhan yang
telah diberikan bagi Indonesia.
Mengingat pada bulan pendakian tersebut adalah musim kemarau. Bayanganku
tertuju saat beberapa literatur yang menjelaskan pada ilmu geografi tentang vegetasi
endemik daerah pegunungan. Oh iya, karena Indonesia adalah suatu wilayah ring of fire tak heran jika banyak
dijumpai berbagai gunung-gunung berapi di wialayah ini.
Gunung-gunung
berapi ini menarit banyak minat bagi para kalangan tertentu tak terkecuali para
ilmuwan yang mendalami ilmu vulkanologi dan para pelancong baik domestik dan
mancanegara. Sejarah duniapun mencatat pada kejadian alam saat gunung Krakatau
meletus yang membuat seluruh penjuru dunia tertutup kabut gelap selama beberapa
hari dan memunculkan anak gunung Krakatau. Sama halnya dengan Krakatau, gunung
Rinjanipun pernah erupsi dan sisa-sisanya memunculkan keistimewaan yang lain,
yaitu gunung Si Jari dan danau Sagara Anakan yang mengelilinginya dan berwarna
hijau toska. Cantik!
“Ayo,
kita siap mendaki lagi, sudah diisi, kan, perutnya?” Semangat bang Udin pada kami berenam dan dia
adalah pendaki yang berpengalaman di Rinjani setelah bermalam di pos pertama
karena kami telah membunuh waktu.
Meskipun
aku bukan seorang mahasiswa pecinta alam, namun prinsip-prinsip pendakian tetap
dijaga, yang berisi:
“
Jangan mengambil apapun, kecuali gambar.
Jangan meninggalkan apapun, kecuali jejak. Jangan membunuh apapun, kecuali
waktu”
“Semangka! Semangat Kakak!” Seru Mbak Ika yang
menyemangati kami terus menerus saat beberapa di antara kami mulai kecapekan.
“Semangka!!”
Dengan lantang Eriana, Ari dan Aku menjawab.
Pukul
6 sore kamipun memasuki area perkemahan di Plawangan yang letaknya sudah tidak
jauh dari puncak Rinjani. Udara dingin pun mulai menusuk seluruh badan, semua
dari kami sudah membalut badannya dengan jaket yang tebal, menutupi seluruhnya
agar tetap terjaga kehangatan.
“Waw!”
Takjub mbak Ika.
“Eh,
Poto-poto dulu sini?!” Pintaku
Beberarapa
di antara kami ada yang mengabadikannya lewat kameranya dan Ari menelpon
keluarganya dan memberi kabar pada mereka bahwa keberadaannya. Setelahnya, kami
menuju tempat kamp.
Sembari
memasang tenda dan mencari sumber air, aku melihat-lihat sekitar kamp ternyata
bukan hanya dari Indonesia saja yang datang ke sini, namun banyak di antara
mereka adalah turis asing. Merekapun tidak sabar untuk mendaki ke puncak Anjani
dengan semangat.
“Nanti,
kita muncak jam 2 pagi, jadi, setelah kalian makan, tidurlah” saran bang Fuad.
“Oia,
nanti jangan lupa bawa air minum juga” tambah bang Udin “Cungil, nanti mau ikut
muncak, enggak?”
“hm..enggak,
deh, bang!” sahutnya.
Kebetulan,
saat awal perjalanan, Cungil-lah yang sedikit berubah fikiran.
Sembari
menikmati malam di dekat tenda, aku, Wayan, dan Cungil melihat ke angkasa.
Semesta yang sulit didapat ketika kita berada di tengah kota. Menebak rasi
bintang-bintang angkasa, hamparan luas bagai perhiasan yang mengkilap. Selain
itu, kelap-kelip lampu dari pemukiman penduduk daerah kaki pegunungan Rinjani
yang tak kalah cantik, membuat suasana yang nyaman. Setelahnya kami pun pergi
tidur ke tenda.
“Bangun,
bangun! Sudah jam 2, jadi mau pada muncak, gak?” Suara tenda sebelah
membangunkan aku.
“Sudah
siap?” Tanya bang Udin pada kami yang akan muncak.
“Sudah!”
kami menjawab dengan menggigil kedinginan.
“Semangka!”
Seru bang Udin.
“…”
tak ada satupun dari kami menjawabnya.
Perjalanan
menuju puncak Anjani pada pukul 2 adalah perjalanan yang sangat gelap dan hanya
lampu senter yang menerangi kami. Beberapa pendaki yang lain pun siap menuju
medan pertempuran.
Saat
mendaki, pikiranpun melayang, mengingat kasur, guling dan kamarku di Jogja. Ada
sedikit penyesalan pada waktu itu. Namun, karena tekad yang kuat, zona nyaman
aku tinggalkan.
Dalam
menuju Anjani bersama-sama pendaki yang lain, perjalanan lebih berat dari medan
sebelumnya. Jalannya berpasir, licin, dan butuh tenaga yang lebih untuk terus
mempertahankan posisi. Karena, semakin besar melangkah, kaki kita akan merosot
kembali karena kerikil-kerikil dari sisa erupsi. Beberapa menit kami sempat
beristirahat untuk sekedar minum air atau menguyah coklat choky-choky untuk menambah stamina.
w/ mbak Ika |
Pernah
aku mendengar, “Belum ke Lombok, kalau belum pernah mendaki gunung Rinjani”.
Tentunya karena selain Lombok memiliki pantai-pantai yang cantik seperti Kuta,
Tanjung Aan, Gili Trawangan dll. namun, lihatlah, Rinjani menyapa saat memasuki
Lombok dengan tinggi menjulang. Kini, kurasakan butuh peluh dan keringat untuk
mencapainya.
Waktu
pun tak terasa sudah mulai memasuki pukul 4 pagi, aku dan teman-teman yang lain
masih berjuang demi sang Anjani dalam menyapa terbitnya sang Surya. Meski
perjalanan kami ke sana belum ada setengahnya. Aku terus berusaha. Aku capek.
Aku Istirahat. Begitulah kira-kira adanya.
Setelah
beristirahat beberapa menit karena tenaga yang terkuras. Temanku Ari ternyata
lebih dulu di depan beserta bang Fuad yang membawa persediaan air. Disaat
beberapa temanku mulai kehausan, sudah tidak berbuat apa-apa lagi terkecuali
cepat menyusul yang ada di depan kami.
Entah
mengapa setelah beberapa meter menuju puncak, medan terus miring dengan
beberapa pemandangan batu-batu besar. Aku tak peduli, yang terpenting terus
berjalan. Terus melangkahkan kaki, meski tenggorokan sudah kering dan tenaga
mulai menunjukkan indikator ‘siaga’.
Jemari
tanganku mulai terasa membeku, tak bisa bergerak sama sekali karena dinginnya
suhu puncak. Aku berinisiatif saling menggemgam tangan mbak Ika, untuk
menurunkan suhu dingin. Angin mulai berhembus kencang. Aku, Eriana, dan mbak
Ika melindungi diri di batu sangat besar, menghalau datangnya angin.
Kami
bertiga sudah tidak bisa bergerak, terus berlindung di batu besar dengan tenaga
yang menurun. Seakan-akan angin terus menusuk dinding pertahananku. Dingin.
Sangat dingin. Namun, saat angin berhembus kencang, aku mulai merasakan
datangnya kehangatan. Ya. Kehangatan dari munculnya sang Surya. Masih
terselimut awan, sinarnya seakan membawa kerinduan yang tersalurkan. Akhirnya,
terbitlah sang Surya. Namun, pada saat kami bertiga akan terus menuju puncak,
beberapa orang turun seraya berteriak, “ada badai, turun!”. Akupun terkejut dan
ternganga. Beberapa orang pun yang telah dan akan menuju puncak turun.
Bergaya ala-ala jalur pulang Plawangan-Senaru |
Ternyata,
untuk menaklukan sang Anjani memang sulit, entah manusia super seperti apa yang
bisa menaklukan dia. Mungkin, memiliki tenaga yang kuat saja belum tentu dapat
ditaklukan. Apakah sang Anjani marah pada saat itu? Sehingga mendatangkan
badai? Entahlah, menurutku ini adalah sebuah pengalaman berharga dan berkesan
dalam pendakian menaklukan Anjani. Bukanlah kesombongan atau kebanggaan apabila
telah menaklukan puncak, namun, pelajaran berharga yang didapat, agar apabila
kelak telah meraih puncak tertinggi, kita jangan pernah merasa puas meraihnya.
Sesungguhnya pula puncak sejati bukan berada pada tingginya suatu titik, tetapi
bagaimana kita terus berupaya mencapainya agar mengetahui bagaimana jalan
menjadi lebih baik.
Pada
akhirnya, setelah pendakian menuju puncak yang belum beruntung, kami
melanjutkan perjalanan menuju danau Sagara anak yang tepat berada di bawah kamp
Plawangan, untuk sekedar menikmati alam dan berbagi dengannya.
Indonesia,
kamu masih menyimpan misteri keindahan yang terus menjadi pusat perhatian bagi
banyak orang. Terima kasih atas keindahan yang telah diciptakan bagi bumi
Indonesia, Tuhan. Perjalanan masih akan terus kami lanjutkan. Terus. Dan terus.
they are adventurous :) |
SALAM
LESTARI