"Bu, enu gak yakin kalau enu harus lama-lama kerja di Kalimantan, soalnya enu masih punya keinginan untuk ngambil S2" Curahan saya ke Ibu di saat santai
"Ya terus kamu kalau nggak ambil kerjaan itu, mau 'makan' umur terus?" jawab Ibu dengan membalikan pertanyaan
Beberapa dilema yang terus menghantui saya akhir-akhir ini seakan membuat fikiran bercabang ke mana-mana. Baik dan buruk, keinginan dan kebutuhan atau syukur dan tidak bersyukur.
Ada beberapa langkah yang membuat saya tertinggal jauh dari teman-teman satu angkatan bahkan sahabat, mereka yang sudah melangkah pergi jauh mengejar impian, iya. Ini tentang mimpi. Bukankah mimpi dimiliki oleh setiap manusia? Hanya saja, dapatkah kita mewujudkannya? That's the point.
Mimpi manusia seakan terlihat muluk ingin ini, ingin itu, dan sayangnya banyak di antara mereka gagal dan sebagian lagi memperoleh mimpinya. Kembali lagi, apakah mereka tekun dan giat meraihnya. Tuhanpun memiliki andil dalam perwujudan mimpi-mimpi kita.
Pada persoalan saya di atas, saya sudah tidak banyak waktu lagi, mengingat umur sudah hampir memasuki seperempat abad, sudah saatnya memperoleh dan membahagiakan kedua orang tua, mengingat mereka bukan pejabat dengan bergelimang harta. Ini untuk ketiga kalinya saya masuk dalam dunia kerja, mengingat dua perusahaan yang dulu, hanya batu loncatan dan satu di antara perusahaan tersebut ada yang tidak memberikan gajiku. Di perusahaan ketiga ini, harapan saya bisa menekuninya dengan baik, entah bagaimana caranya saya menginginkan melanjutkan sekolah ke jenjang Master atau tidak, saya sudah membuat rencana, yang saya perlu adalah menikmati terlebih dahulu dan belajar pula dari pengalaman yang terdahulu.
"Man proposes, but God disposes"
Perencanaan daftar mimpi yang telah saya buat, keinginan yang terlihat muluk, tapi tidak mau juga kalah dengan yang namanya mental-blocked adalah perwujudan yang masih dalam batas normal. Saya sudah memiliki rencana. Mumpung masih gratis menyusun impian itu, tidak ada salahnya selalu kita ingat kembali sebagaimana tujuan yang kita ingin capai. Bersyukurnya, satu dari impian saya itu terwujud. Ini nyata! Hanya saja, bagaimana saya harus mengucap syukur yang telah mentakdirkanNya.
"Then, which of the favors of your Lord, would you deny?" [Ar-Rahman: 78]
Tahap selanjutnya adalah naik 'tingkat'. Maksud tanda kutip yang saya berikan itu, adalah derajad yang mana menandakan bahwa saya menuju tingkatan yang lebih 'matang' atau tinggi. Bersyukur. Inilah tingkatan yang selalu saya pertanyakan. Kenapa? karena saya selalu melihat atau membandingkan segala sesuatu terhadap apa yang telah dicapai oleh orang lain, stop comparing your life with others. Ini bagai virus, menyebar dari keinginan yang menggebu-gebu, pada akhirnya tidak bisa menyamakan, gagal dan selalu tidak bisa mensyukurinya. Awalnya memang agar termotivasi, kenyataanya kapasitas saya belum cukup. Akhirnya, selalu menyesal dan terus mengeluh.
Bukan lagi saatnya bermain terus, saatnya bermain sambil berkarya, mengejar cita-cita dan impian demi menglahkan ego yang terus tidak pernah puas. Buktikan, ini sebagai pembalasan atas pengalaman yang terdahulu dan bisa jauh lebih baik.
"But perhaps you hate a thing and it is good for you; and perhaps you love a thing and it is bad for you. And Allah knows, while you not" [Al-Baqarah: 216]
Meskipun, saya selalu beranggapan yang buruk tentang tempat saya akan bekerja nanti, nampaknya Dia telah menempatkan diriku untuk berada di sana agar saya lebih paham dan siap untuk mencintai hal yang tidak pernah saya ketahui lebih jauh sebelumnya. Ini bukan hanya pada masalah saat ini saya seperti ini, saat saya masuk ke jurusan perkuliahan pun, saya tidak pernah berucap syukur, namun di sanalah saya belajar lebih dalam tentang Ilmu Tanah dan berkeinginan untuk melanjutkan program Master dalam bidang Water, Earth, and Environtment Science atau Water, Energy and Environment Science di luar negeri tepatnya di negeri Kincir Angin, Belanda.
Balik lagi, untuk meraihnya adalah dengan usaha dan ketekunan. Pastinya pula ridho kedua orang tua kita. Sayangnya, untuk saat ini, percakapan yang telah saya lakukan dengan orang tua, belum merestuinya. Bukankah restu orang tua adalah restu Tuhan juga? Saya yakin, ini belum saatnya dan adakalanya akan merestui.