Kamis, 28 Februari 2013

Jangan Takut Masuk Pertanian [Antara Realita dan Idealisme]

Beberapa minggu yang lalu di acara job fair UGM, saya yang kini seorang jobseeker mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat dan panggilan hati. Meski tidak semua perusahaan bonafit yang ada di acara tersebut. Jika, dilihat-lihat pun yang sesuai dengan bidangku, tidak banyak di sana, karena latar belakang pendidikan S1 saya adalah pertanian dan di sana didominasi oleh perusahaan yang meminta banyak lulusan teknik ataupun ekonomi.

Saya akan bercerita sedikit, sekilas tentang pertanian. Latar belakang pendidikan yang mungkin tidak terlalu bonafit untuk dibanding-bandingkan dengan fakultas kedokteran dan teknik. Mereka hanya fikir, pertanian adalah lingkupnya sawah dan kerja di sawah. Terlebih lagi, pada saat awal saya dinyatakan diterima di pertanian dengan mayor ilmu tanah, sikap offensive yang dikeluarkan oleh beberapa teman adalah "Mau jadi tukang gali kubur?". 
Adik angkatan prodi Ilmu Tanah 2012

Sempat gundah pada awal-awal menjadi mahasiswa fakultas pertanian. Apa hebatnya menjadi mahasiswa pertanian? Peluang kerja setelah lulus menjadi apa? Mungkin paling banyak kesempatannya adalah di sektor perkebunan atau perbankan. Benar. Mereka dan saya pada saat itu berfikir demikian. Karena pada dasarnya mereka yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan ke perguruan tinggi adalah untuk mencari pekerjaan.

Pada tahun 2009 penerimaan mahasiswa untuk fakultas pertanian menurun, sehingga pemerintah terpaksa menggabungkan beberapa jurusan yang ada menjadi dua, yaitu Agroteknologi (gabungan Ilmu Tanah, Agronomi, Ilmu Hama dan Penyakit Tanamah) dan Agribisnis untuk beberapa Universitas di Indonenesia, terkecuali almamater saya (UGM) dan IPB. Ironis bukan? Negara Indonesia yang konon adalah negara agraris namun peminat untuk bidang pertanian sedikit. Memang tidak semua lulusan pertanian juga bisa menekuni bidang pertanian, sih.

Saya mencari informasi ke beberapa media, kenapa peminatnya sedikit dan menemuka artikel yang menarik yang disampaikan oleh rektor ITB (?). Beliau mengatakan bahwa "Prodi sepi peminat buah dari  tidak seimbangnya antara minat calon mahasiswa dan kebutuhan di lapangan".

Dikatakan kembali "Prodi pertanian misalnya, karena pertanian di Indonesia tidak menjadi primadona. Meski hidup di negara agraris, nasib sebagian orang yang berkecimpung di dunia pertanian bisa dibilang 'gitu-gitu' saja". Di bidang ketenagakerjaan, sedikit lulusan prodi pertanian yang dibutuhkan. Bahkan pemerintah sendiri tidak membuka banyak lowongan kerja bagi sarjana pertanian".

Sudah dapat disimpulkan, kah? Belum tentu. Namun, sedikit ada benarnya. Beberapa mahasiswa pertanian terkadang masih membanding-bandingkan dengan temannya dari fakultas x atau y yang peminatnya lebih banyak atau mencoba kesempatan kedua untuk mengikuti ujian masuk SNMPTN dengan pilihan lain. 

Mengapa demikian? Berikut penjelasan kembali dari Prof. Akhmaloka rektor ITB "Sikap masyarakat yang cepat ingin kembali 'modal' juga menguatkan prodi sepi peminat. Biaya pendidikan dan waktu yang dikeluarkan selama lima tahun kuliah harus segera 'dikembalikan'. selain itu, masyarakat juga ingin pekerjaan yang mentereng seperti di bank daripada di tengah sawah, apalagi di hutan. Meskipun demikian Akhmaloka menyarankan agar tidak menutup diri pada prodi sepi peminat. Tetap ada peluang untuk maju. Lulusan prodi geofisika dan meteorolgi misalnya, selalu dibutuhkan pemerintah untuk mitigasi bencana."

Satu pernyataan yang saya sukai dari beliau juga adalah "Bangsa ini tidak bisa dibangun hanya dengan satu atau dua bidang keahlian saja".

Para adek-adek mahasiswa yang sudah duduk di bangku kuliah dan disorientasi untuk masa depan, manfaatkanlah waktu selama kuliah. Masa depanmu masih panjang, perbanyaklah berorganisasi di luar kampus, isi waktu luangmu. Meskipun di bidang pertanian labelnya, kita tidak akan mengetahui potensi yang ada dalam diri kita untuk menggeluti passion yang kalian mau. Seniman, photografer, pengusaha, atau peneliti bisa saja menjadi bagian dari dalam diri kita.

"Sarjana pertanian telah dibekali dengan praktikum sebanyak 40% selama di bangku perkuliahan akan mencetak calon-calon peneliti muda dibandingkan jenjang diploma dengan praktikum 60% yang artinya telah banyak menguasi teori lebih dalam" Papar dekan Fakultas Pertanian UGM pada saat saya wisuda. Pernyataan demikian pula, membuat para sarjana pertanian siap bersaing di luar sana beserta sarjana dari lulusan fakultas lain.

Jangan takut bersaing dan terus berkarya demi kemajuan baik di bidang pertanian maupun bidang yang lain. Saya meyakini, beberapa orang yang memiliki mimpi namun berada dalam posisi yang 'dihujat' atau 'dicemooh' akan lebih cepat berdiri dan berlari. 

Meski kedelai dan gandum masih impor. Suatu saat salah satu dari beberapa teman-teman fakultas pertanian memiliki perubahan untuk kemajuan di negera ini. Untuk saya sendiri yang hanya lulusan pertanian dengan predikat abal-abal hanya bisa berfikir optimis dan positif, karena untuk pertanian ini memang perlu dibutuhkan orang yang benar-benar hebat. Tidak mudah untuk menciptakan varietas baru dan inovasi yang menggebrak dunia pertanian. Namun, saya katakan PASTI!!

viva soil
soil solid ^^



Selasa, 26 Februari 2013

Gunung atau Pantai

Coba sebutkan, berapa banyak pantai yang kamu sudah kunjungi? hmmm...di Pulau Jawa saja. Tidak usah jauh-jauh. Apa? Anyer, Paragtritis, Pangandaran, apa? Pantai di bagian selatan Gunung Kidul? Oke. Sudah dikunjungi semua? Coba, kalau gunung bagaimana? Gunung yang sudah dikunjungi di Pulau Jawa? Apa? Tangkuban Perahu? Bromo? Baiklah. Merapi, Semeru dan yang lainnya? Sudah atau belum?Oh, Belum.

Sebenarnya saya bukan untuk menjudge di sini. Saya hanya bertanya. Tidak salah, kan? Memang tujuan wisata orang berbeda-beda. Tidak hanya pantai nan elok dengan warna lautnya, namun gunung yang maha daya agungnya tidak kalah indah, kok. Bangga bukan menjadi orang Indonesia yang banyak tujuan wisatanya?

wsncyd lagi di Lawu (pos 4)
Di Jawa saja. Tidak usah menyeberang ke pulau tetangga, deh. Kita dapat paket komplit, bukan? Pergilah ke Ciamis atau Jogjakarta, kita bisa disuguhkan dengan pantai-pantai dengan panorama yang sangat indah. Tidak hanya pantai saja, di Jogjakarta juga terdapat wisata petualangan yang berupa gunung. Benar. Gunung Merapi. Bahkan disekitarnya ada gunung-gunung lain, seperti Merbabu dan Lawu. 

wsncyd dan kawannya lagi aksi di Pantai :)
Sedikit bercerita pengalaman dari teman-teman. Banyak sekali yang ingin mendaki (istilah naik gunung) karena melihat foto-foto pendakian, cerita dari teman, atau bahkan dari nonton film (?). Apapun itu, tidak masalah jika minat melakukan pendakian, meskipun dikatakan pemula. Saya juga, kok. Sekian banyak dari teman-teman, ada yang menyerah saat pendakian atau ada yang 'ketagihan' mendaki. Well, itu hanya kalian yang bisa menentukan. Menyerah kenapa? Pertama, karena gunung merupakan tujuan wisata petualangan yang memakan banyak stamina dan kedua adalah mendoktrin dirinya sendiri menjadi anak pantai. 

Saya juga cinta pantai, kok. Pantai memiliki kesan sendiri untuk 'ritme' hidup yang santai. Ingatkah dengan pernyataan yang entah dari mana sumbernya yaitu "nyantai kayak di pantai". Ya, demikianlah pantai. Biru langit dan laut memiliki energi positif bagi penikmatnya. Untuk persiapannya pun tidak ribet seperti melakukan pendakian.

Nah, maka dari itu. Saya memberi gambaran bagi siapa saja yang ingin merencanakan kegiatan liburannya untuk memilih pantai atau gunung.
Bagi anak gunung biasanya:
- Ada persiapapan fisik dan mental baik pemula ataupun yang sudah pengalaman.
- Peralatan pribadi dan supply makanan harus dapat diperkirakan hingga akhir pendakian.
- Membentuk tim dan berkelompok.
- Mematuhi aturan atau prinsip pecinta alam.
- Sopan dalam pendakian

Bagi anak pantai
- Tidak ada persiapan fisik atau mental kecuali yang fobia
- Makanan? Banyak warung
- Sendiri, berdua, atau berkelompok ke pantai tidak masalah.
- Prinsip pecinta alam tetap dong dijaga.
- Pantai semua santai, pakailah pakaian yang tepat, masa iya ke pantai pake jaket tebal dan mengenakan menutup badan.

Jadi, tergantung pula  seorang itu menggeluti hobby-nya. Biasanya paling dominan ya memang pantai. Tetapi, sayang dong kalau di Indonesia belum pernah naik gunung? Masa cuma Bromo dan T. Perahu, doang? Mungkin, ada satu hal lagi yang membuat kagum naik gunung, betapa kecilnya kita dan Maha Besarnya ciptaanNya. Oia, adalagi! Kalau Cewek-cewek pasti akan terkagum-kagum dengan para cowok-cowok yang membuatkan makanan, karena biasanya naluri cowok di gunung terlihat seperti pria. Meski makanannya aslinya tidak enak. Ya bagaimana lagi, namanya juga laper. Ingat juga, sampahnya juga diberesin lagi ya?

Pastinya, akan ada cerita yang dapat disampaikan ke manapun kita pergi, baik gunung ataupun pantai. Place to go before you die is mountain, I notice you who haven't to go there. Percuma, dong? Masa gunungnya dianggurin. Oke, tadi ambigu. Mari menjelajah dan berwisata ke manapun dan di manapun! Intinya begitu. 

Salam Lesatari :)

Sabtu, 16 Februari 2013

Status Anonim Dalam Jurnalisme by fgaban


Pernahkah dalam suatu karangan ilmiah kita mencantumkan saduran atau referensi dari buku atau web tanpa pengarang alias Anonymous (Ind. Anonim). Saya yakin pernah. Bagaimana jika karangan Anonim itu sarat tidak dapat dipertanggungjawabkan? Masih valid kah data atau tulisan ilmiahnya?

Demikian juga para pencari berita yang meliput atau mewawancarai narasumber. Dapatkah memakai sumber Anonim atau tidak? Ini penjelasannya dari seorang jurnalis.

Beberapa waktu lalu, saya memantau dari lini masa twitter, seorang jurnalis yang bisa dikatakan senior, sedang memberikan hestek dengan judul #anonim. Sebagai seorang pemula, saya mencoba memahami dan menyimpan twit beliau di tab Favorite. Siapakah beliau? Dia adalah Farid Gaban (@fgaban). Berikut hasil print screen-nya.



Dari hasil kultwit, dapat disimpulkan bahwa harus ada transparasi antara sumber anonim dan jurnalis, dengan kata lain, sumber berita dapat dipertanggungjawabkan secara benar dan fakta atau data yang nyata. Namun, sumber anonim ini diperlakukan secara ketat dan media yang menggunakannya akan bertanggung jawab atas hasil dari sumbernya.