Jumat, 30 Mei 2014

Malangku di Malang: Belum Berakhir!

Masih Malang di Bulan Oktober 2013

"Lapar!" 
Bukan cuma perut yang protes untuk diisi nasi, tapi juga 'lapar' kepingin jalan-jalan lagi, seharusnya kali ini bisa memilih angkutan yang wajar dalam urusan uang. Ingat! Saya juga di Malang berniat ikut proses seleksi perusahaan bukan sepenuhnya jalan-jalan. Kalau gagal tesnya, baru jalan-jalan, deh! Hail Malang!

Sebagai jobseeking-traveler, sudah seharusnya saya menceritakan kesan jalan-jalannya di manapun saya mengikuti tes daripada  memberikan info tips dan trik tes di perusahaan X atau Z. Kalau mau cari, coba buka di Kaskus lebih komplit ketimbang di sini. Tepatnya masuk ke [Forum] buka [Bisnis] lalu [Dunia kerja & Profesi]. Penuh dengan tanya-jawab beberapa kaskuser tentang beberapa perusahaan di sana. Kalau malas buka, gimana mau dapet rezeki. Rajin-rajinlah kau, kisanak!

Balik ke topik pembicaraan yang harus segera diselesaikan. Tujuannya di sini adalah tes dan tidak banyak waktu untuk berleha-leha, maka dari itu selepas mandi, saya pergi menuju keluar penginapan mencari sarapan. Sayangnya, di sekitar sana nggak ada penjual makanan, namun yang saya temukan adalah semacam toko roti dan makanan kudapan tepat di samping penginapan. Tidak ingin ambil pusing karena takut mati kelaparan, saya membeli satu buah roti bantal, snack Taro, air mineral dan air teh dalam kemasan, dan satu bungkus rokok. 

Waktu terus menghantui saya dan berlari begitu cepat,  saya kembali menuju kamar dan memakan makanan yang saya sudah beli tadi. Beberapa menit kemudian saya sudah siap menjelajah lokasi tes. Karena tes diadakan keesokan harinya, jelaslah saya harus paham lokasinya tersebut. 

"Sep, kalau mau ke Un-Braw dari stasiun naik apa?" Pesan lewat BBM yang saya tanyakan, sambil jalan menyusuri jalan Kahuripan untuk sekedar sightseeing saja. Di sana saya melihat beberapa kafe dan resto yang masih tutup. Mungkin, karena masih pagi juga nampaknya. 

"Kamu udah di Malang, Nu"
"Naik ADL aja, itu nanti turun di belakang UB, kok" 
"Kamu sama siapa ke sana? Ikut tes apa?" Tiga pesan masuk secara berurutan masuk dari teman saya.

"Berapa emangnya tarif angkotnya, Sep?"
"Iya, kita (saya. red) mau tes di deket UB lokasinya"
"Iya, sendiri" Mencirikan bahwa pengguna BBM atau aplikasi obrolan lainnya, selalu membalas dalam tiga atau mungkin lebih pesan yang sangat pendek. Begitu pula saya menjawab Asep ini. Bayangkan jika latah menjawabnya melalui SMS yang selalu dikenakan tarif reguler. Enggak berbeda sih untuk tarif, tapi jaman sekarang sudah sering menggunakan paket data internet untuk berhubungan dengan yang lain, meskipun pulsa kosong. Nah, deh ketahuan saya kalau sering gak punya pulsa. Hehe....

"Paling 3-4ribu"
"Yawes, sukses" 

"Sip, thank, Sep" tutup saya.

Karena mepet, bukan berarti saya puas menjelajah di sekitaran Tugu Malang. Suatu saat, saya kembali lagi ke sini, pasti!

Berjalan sambil mencari angkutan umum berlogo 'ADL' seperti apa kata Asep tersebut nampaknya agak sulit atau memang belum beruntung dapat yang kosong. Saya berhenti di depan korem tentara AD di sana untuk mengawasi angkot yang lewat situ. Satu-dua-hingga-5-menit kok gak nongol-nongol, ya? Terpaksa berjalan lebih jauh, deh. Sial ini angkot.

Itu angkot ADL, kayaknya. Dalam hati berbicara. Benar, ternyata! Mendakati angkot itu dan melihat, wow, kosong! Akhirnya pucuk dicinta angkotpun 'ngetem'. Benar, angkot ini karena baru saya saja yang masuk dan ada di dalamnya, saya menunggu lagi. Kali ini lebih lama dari sebelumnya saya menunggu. Lebih lama daripada menemani cewek berbelanja pakaian, pokoknya. Udah gitu, dandannya lama, pula. Aku harap karena di angkot sendirian, sesekali supirnya curhat gitu kan bisa lebih hangat. Sayangnya, enggak! Hih!

Beberapa menit menunggu jalannya angkot, tapi kok nggak ada orang yang masuk, ya? Hati saya bertanya-tanya. Kayaknya kota di Jawa Timur bikin sial terus setiap kali dikunjungi atau saya yang punya masalah, ya? Tapi, dugaannya benar adanya. Karena belum dapat penumpang lainnya di dalam mobil, tiba-tiba angkot berjalan pelan, pastinya saya berucap syukur, eits...belum bergerak jauh, ada wanita paruh baya dengan perawakan agak gemuk dan berwajah Indonesia bagian timur memberhentikan angkot dengan motornya. Saat itu saya nggak tau percakapan yang berlangsung, tapi rupanya ada tawar-menawar harga. Jreng jreng! Masalah saya apa, ya Tuhan! 

"Mas, mau ke UB, kan?" tanya sopir angkot yang pada saat awal saya masuk dia menganggukan kalau angkot ini akan menuju ke UB

"Iya, mas" Jawab saya dengan kebingungan karena tiba-tiba bertanya kembali dan akhirnya sopir angkot ini memulai pembicaraan dengan saya. Terima kasih, ya Tuhan! Bentar, k-o-k?

"Pindah angkot yang lain aja ya, mas. Soalnya mau disewa" Kata dia

Jawab:
"...oh, oke.." sambil senyum lalu turun dari angkot itu

Kenyataan:
SIALAN! ANJIS. RUGI WAKTU. *^(^(&% ARRRRGH!!!!TUHAN ADA APA DENGAN SAYA?!

Namun pada akhirnya, saya mencari angkot yang sama menuju tempat lokasi tes dengan tanpa disuruh keluar atau dioper.


Malamnya di Malang: Kamar No 9

Kembali pada sore hari setelah kesialan yang menimpa saya dan di kamar inilah saya memulai malam. Masih ingat dalam tulisan sebelumnya, kalau kamar sebelah dari kamar ini adalah kamar yang sangat tidak layak dihuni. Kosong dan nampak banyak jaring laba-laba menggantung di atap-atap kamar. Spooky, though?

Ritual, kali ini ritualnya. Iya. Ritual. Berupa...Makan malam! hehe...

Tenang. Mari kita menghela nafas sebentar apa yang akan terjadi di-samping-kamar-bernomor-9. 


to be continued...

Cetak-Miring-garis-bawah:
Bahasa Cerbon: kita = saya.

Rabu, 28 Mei 2014

Malangku di Malang: Penginapan atau Kandang (?)

"Pak, kita cari lagi penginapan yang lebih murah, deh" Pinta saya ke bapak tukang becak ini sambil keluar dari pelataran halamannya, saya masih mencari penginapan yang kira-kira cocok dengan kantong. Masih ingat saat itu kawasan penginapannya berdekatan dengan kantor walikota Malang. 

Masih berada di atas becak, saya melihat kekaguman dengan kota Malang, bangunan-bangunan kuno yang dipakai untuk Hotel dan melihat bundaran yang di tengahnya ada tugu. Masih hijau, bersih, dan asri. Tunggu. Ini. Benar. Saya. di Malang? tanya saya dalam hati. Strukturnya hampir mirip dengan Tugu Muda di Semarang. Ya sudahlah, saya nikmati saja tata kotanya sambil menunggu si bapak tukang becak ini membawa ke mana lagi untuk mendapatkan penginepan yang saya inginkan.

"Coba yang ini ditanya, mas" si bapak ini menunjukkan salah satu penginepan dan berhenti di deapannya.

"hmm...oke, pak"

Agak ragu melihat kondisi bangunannya, tidak terlihat seperti penginepan, ruko, malah. Turun dari becak, saya masuk ke dalam 'lobi' ala ala. Namanya juga penginepan apa adanya, resepsionispun saat saya ingin beertanya, tidak ada. Tiba-tiba muncul seorang pria dengan perawakan tinggi kurus bercelana pendek, dengan janggut seperti Bams Samson. Yakin, nih penginepannya? Was-wasnya demikian. 

"Gimana, mas?" Tanya si janggut ala Bams Samson ini.

"Di sini per malamnya berapa, ya, mas?" Sambil duduk di depan kursi yang kosong tepat di depan resepsionis.

"Per malamnya 90000, mas" Jawabnya singkat

Karena sudah tidak mau muter-muter lagi mencari penginepan dengan becak dan saat itupun lapar serta lemas. Saya mengiyakan saja. Toh, saya di sini yang penting bisa tidur, gak usah muluk. Jika dibandingkan dengan penginepan di Jogja,  harga segitu sudah termasuk tinggi dengan kondisi yang lebih baik. Lebih baik? Iya. Di Sini saya melihat pemandangan 'lobi' dengan tatanan yang berantakan. Satu aquarium besar dengan air yang sudah menghijau di salah satu sisi pintu dengan satu ikan Arwananya, beberapa sepeda gunung dan satu sepeda low-rider terlihat tidak semestinya berada pada posisi yang baik. 

Setelah deal dengan penawarannya, saya menuju bapak tukang becak itu untuk membayar jasanya. Sambil mengeluarkan uang dari dompet dan memberikan uang 15000 rupiah.

"ini, pak.." dengan menyodorkan uang

"20000, mas" sela si bapak ini

"loh, tadi perjanjiannya katanya 15000, masa nambah?" protes saya dengan heran

"ya, kan tadi sekalian keliling nyari penginepan, tha?"

Kesal dengan si bapak ini, saya tidak mau banyak berdebat, karena memang lelah. Saya berikan tambahan uang 5000 lagi kepadanya. Dengan muka kesal, saya memberikannya dan melipir masuk penginapan tanpa memberikan ucapan terima kasih. Tau gitu, saya ajak keliling-keliling lagi, deh. Lagian, kayaknya deket juga jaraknya dari stasiun sampai penginapan ini. Gumam saya dalam hati.

Karena belum memasukan dompet ke saku celana, saya kembali menuju meja resepsionis untuk melunasi pembayaran langsung untuk satu hari menginap dan memberikan KTP saya sebagai jaminan. Si mas janggut-kurus-berjenggot-ala-Bams Samson ini lalu menyerahkan kunci kamar kepada saya, sebelum menuju ke kamar, si mas tersebut memberikan tips tambahan kepada si bapak tukang becak ini sebesar 10000 rupiah. Anjislah, gak bener itu tukang becak. Kata saya dalam hati.

KAMAR NO 9
Kamar saya berada di lantai 2 di penginapan itu, saya terkejut saat melihat kamar sudah terbuka lebar. Di sana saya menemui ada seorang mas-mas lagi yang berkisar umur 28-an yang sedang membereskan kamar mandi, tepatnya membersihkan dan mengisi bak mandi dalam kamar tersebut.

"Nginep berapa lama, mas?" Pertanyaan sapaan pengenalan dari si mas itu.

"Oh, cuma sehari aja, kok, mas" jawab saya singkat

Karena percakapan ini saya anggap tidak penting, saya tidak melanjutkan dialognya, deh.

Setelah selesai semua dibereskan oleh si mas tersebut, saya masih menerawang kamar ini.
Kamar yang berisi satu tempat tidur ber-type family bed yang tersudut dengan kasurnya berupa...kapuk.
Dua bantal yang sudah...lepek.
Spreinya dengan motif...kembang-kembang.
Satu meja dan satu kursi yang...berkarat
Kipas angin yang...berdebu
Letak tv yang menempel pada dinding dengan bersangga pada besi ternyata nampak benda tersebut terkurung pada...sel
masuklah ke kamar mandi dan masih beralas...tegel
dengan bak yang, saya nggak tega. oke tapi airnya bersih, sih. Cuma baknya nampak terlihat...kotor

Mau bagaimanapun, kalau harganya terbilang murah banget, ya mungkin kondisinya seperti ini. Sudah tidak peduli lagi dengan kondisi kamar, yang penting bisa tidur, mandi, dan mengikuti tes. Saya lalu mengeluarkan isi tas, satu hal yang saya utamakan, ialah mengecas hape. hehe... Sembari merebahkan badan dengan kaki saya sambil merentang-menutup seperti Sinchan yang sedang ngambek, tiba-tiba kaki saya menyenggol tembok yang ternyata...TRIPLEK!

Karena merasa aneh, jangan-jangan hanya saya sendiri yang menginap di sini, saya melihat-lihat ke lorong deretan yang hanya ada 4 kamar, sambil menengok kamar sebelah yang merupakan kamar paling pojok setelah kamar saya, ternyata kamarnya lebih parah dari yang saya tempati dengan gorden yang terbuka atau memang tidak menempel pada penyangganya, dengan kasur single, tanpa adanya tv di dalamnya. Mungkin kamar tersebut memang dalam kondisi yang sangat amat tidak layak dan terawat. Pikir saya, kenapa saya dikasih kamar yang bersebelahan dengan kamar yang kayak gitu, ya?

Sebelahnya, untungnya. Ada beberapa pemuda yang baru check-in juga setelah saya lihat.

Sayangnya, saya tidak mengabadikan penginapan selama saya di Malang, mungkin saya akan memasukkan beberapa foto yang berkaitan dengan cerita ini.

To be continued...

Selasa, 27 Mei 2014

Saat Impian Masih Menggantung: Grateful to The Fullest

"Bu, enu gak yakin kalau enu harus lama-lama kerja di Kalimantan, soalnya enu masih punya keinginan untuk ngambil S2" Curahan saya ke Ibu di saat santai

"Ya terus kamu kalau nggak ambil kerjaan itu, mau 'makan' umur terus?" jawab Ibu dengan membalikan pertanyaan

Beberapa dilema yang terus menghantui saya akhir-akhir ini seakan membuat fikiran bercabang ke mana-mana. Baik dan buruk, keinginan dan kebutuhan atau syukur dan tidak bersyukur. 

Ada beberapa langkah yang membuat saya tertinggal jauh dari teman-teman satu angkatan bahkan sahabat, mereka yang sudah melangkah pergi jauh mengejar impian, iya. Ini tentang mimpi. Bukankah mimpi dimiliki oleh setiap manusia? Hanya saja, dapatkah kita mewujudkannya? That's the point.

Mimpi manusia seakan terlihat muluk ingin ini, ingin itu, dan sayangnya banyak di antara mereka gagal dan sebagian lagi memperoleh mimpinya. Kembali lagi, apakah mereka tekun dan giat meraihnya. Tuhanpun memiliki andil dalam perwujudan mimpi-mimpi kita.

Pada persoalan saya di atas, saya sudah tidak banyak waktu lagi, mengingat umur sudah hampir memasuki seperempat abad, sudah saatnya memperoleh dan membahagiakan kedua orang tua, mengingat mereka bukan pejabat dengan bergelimang harta.  Ini untuk ketiga kalinya saya masuk dalam dunia kerja, mengingat dua perusahaan yang dulu, hanya batu loncatan dan satu di antara perusahaan tersebut ada yang tidak memberikan gajiku. Di perusahaan ketiga ini, harapan saya bisa menekuninya dengan baik, entah bagaimana caranya saya menginginkan melanjutkan sekolah ke jenjang Master atau tidak, saya sudah membuat rencana, yang saya perlu adalah menikmati terlebih dahulu dan belajar pula dari pengalaman yang terdahulu.

"Man proposes, but God disposes"

Perencanaan daftar mimpi yang telah saya buat, keinginan yang terlihat muluk, tapi tidak mau juga kalah dengan yang namanya mental-blocked adalah perwujudan yang masih dalam batas normal. Saya sudah memiliki rencana. Mumpung masih gratis menyusun impian itu, tidak ada salahnya selalu kita ingat kembali sebagaimana tujuan yang kita ingin capai. Bersyukurnya, satu dari impian saya itu terwujud. Ini nyata! Hanya saja, bagaimana saya harus mengucap syukur yang telah mentakdirkanNya.


"Then, which of the favors of your Lord, would you deny?" [Ar-Rahman: 78]

Tahap selanjutnya adalah naik 'tingkat'. Maksud tanda kutip yang saya berikan itu, adalah derajad yang mana menandakan bahwa saya menuju tingkatan yang lebih 'matang' atau tinggi. Bersyukur. Inilah tingkatan yang selalu saya pertanyakan. Kenapa? karena saya selalu melihat atau membandingkan segala sesuatu terhadap apa yang telah dicapai oleh orang lain, stop comparing your life with others. Ini bagai virus, menyebar dari keinginan yang menggebu-gebu, pada akhirnya tidak bisa menyamakan, gagal dan selalu tidak bisa mensyukurinya. Awalnya memang agar termotivasi, kenyataanya kapasitas saya belum cukup. Akhirnya, selalu menyesal dan terus mengeluh.

Bukan lagi saatnya bermain terus, saatnya bermain sambil berkarya, mengejar cita-cita dan impian demi menglahkan ego yang terus tidak pernah puas. Buktikan, ini sebagai pembalasan atas pengalaman yang terdahulu dan bisa jauh lebih baik. 

"But perhaps you hate a thing and it is good for you; and perhaps you love a thing and it is bad for you. And Allah knows, while you not" [Al-Baqarah: 216]

Meskipun, saya selalu beranggapan yang buruk tentang tempat saya akan bekerja nanti, nampaknya Dia telah menempatkan diriku untuk berada di sana agar saya lebih paham dan siap untuk mencintai hal yang tidak pernah saya ketahui lebih jauh sebelumnya. Ini bukan hanya pada masalah saat ini saya seperti ini, saat saya masuk ke jurusan perkuliahan pun, saya tidak pernah berucap syukur, namun di sanalah saya belajar lebih dalam tentang Ilmu Tanah dan berkeinginan untuk melanjutkan program Master dalam bidang Water, Earth, and Environtment Science atau Water, Energy and Environment Science di luar negeri tepatnya di negeri Kincir Angin, Belanda.

Balik lagi, untuk meraihnya adalah dengan usaha dan ketekunan. Pastinya pula ridho kedua orang tua kita. Sayangnya, untuk saat ini, percakapan yang telah saya lakukan dengan orang tua, belum merestuinya. Bukankah restu orang tua adalah restu Tuhan juga? Saya yakin, ini belum saatnya dan adakalanya akan merestui.
  

Senin, 26 Mei 2014

Malangku di Malang

Sebenernya, gak berat kok jadi jobseeker, sumpah, yang berat itu kalau nunggu kepastian dipanggil lagi atau kelar sampai di situ. Tapi, selama bisa dinikmati, gak masalah. Ini lagi seneng aja posting perjalan-perjalan yang menarik. Sebenernya banyak yang belum diceritain di sini, tapi nanti kalau masih mampu dan dikasih umur (halah) bakal ditulis, pastinya kalau masih inget juga.

'Ya masa, kalau lupa ditulis, hal apa yang mau diceritakan?'

'Bisa, Nu. Bisa, kamu inget-inget lagi, dong!'

'hmmm.....'

Biar sering jalan-jalan sendiri, tapi ada cerita yang bisa dibagi, gak melulu boring, kok. Sejak berani pergi-pergi sendiri dan dipaksa mandiri, jadilah seperti ini. Ada orang bilang kalau jalan-jalan sendiri itu membosankan. Gak juga. Contohnya saya, hasil jalan-jalannya menarik. Beneran loh....

Semenjak berstatus jobseeker sambil travel, saya mendeklarisikan diri sendiri sebagai jobseeking-traveler, yang intinya gagal jadi karyawan karena nggak lolos tes sana-sini, masih mujur dapet cerita konyol dan pasti teman. Lucunya, lama kelamaan males dan capek juga gak settle. Anggap belum rejekinya.

Malang,  Oktober 2013

di depan stasiun Malang
Entah tanggalnya saya lupa, namun ini adalah kali pertama saya datang mengunjungi kota Malang sendiri tanpa ada teman dan kerabat. Emang dari dulu punya keinginan buat jalan-jalan ke sini atau gak kalau beruntung bisa kerja di Malang, kesampaian juga deh meskipun cuma buat tes kerja dari PT Unilever.

Pagi-pagi sekali saya tiba di stasiun Malang, tanpa pakai itinerary tanpa banyak persiapan dan segala macamnya. Luntang-lantung nggak jelas mengamati stasiun ini, jelek. Dibanding dengan stasiun Cirebon, jauh perbedaannya. Meskipun kondisi stasiun yang begitu-deh, banyak turis domestik dengan tas gunungnya banyak ditemui di sini, semacam di film '5 cm' gitu. Mereka sedang menunggu angkutan yang akan membawanya hingga menuju Taman Nasional Semeru-Tengger.
Pendaki di depan stasiun Malang
Saya masih kebingungan juga pada saat itu, sambil mencari-cari penginepan bermodal gadget dan yang penting murah dan bisa tidur nyenyak. Tanpa panjang lebar saya memilih untuk berkeliling mencarinya dengan becak. Sebelumnya saya ditawari oleh bapak tukang becaknya " Mau pergi ke mana, mas?"

"hm..mau cari penginepan murah, pak. Kira-kira bapak bisa antar saya nggak?"

"oh, bisa, mas. Mau di daerah mana?" Sambil menyiapkan becaknya seraya bertanya kembali.

"Di deket-deket sini aja, pak. Gak usah jauh-jauh dari stasiun" karena memang saya tidak tahu daerahnya, saya mempercayakan kepada bapak tukang becaknya.

"Yaudah, mas. Mari .."

Pergi menggunakan becak ini karena menurut saya bisa sambil berkeliling dan santai. Sebenarnya si bapak tukang becak saat mengayuh berbicara tentang penginapan murah. Sambil tetap mencari juga lewat gadget, saya selalu meng-iya-kan apa yang bapak itu bicarakan. Jahat, ya? hehe...

Jahatnya saya, masih belum tega banget, kalau tahu saya dicurangi sama tukang becaknya, saya bisa lebih jahat. Tetapi karena saya mulai lelah, nanti saya lanjutkan bagian selanjutnya tentang Gairah Hotel Malang.

To be continued....




Kamis, 01 Mei 2014

Dimulai Dari Sini (Selamat Tinggal P. Jawa)

Nampaknya, gue harus menyekip atau memindahkan tulisan gue tentang sales ngenes ke file word. Karena enggak bisa gue ceritain di sini semua atau gue menuliskannya dulu di Ms. Word lalu meng-copas-nya ke sini. Bukan karena gue males menulisnya, karena gue mau ceritakan hal yang menurut gue lebih mendalam. Apa itu?

Oke, gue akan kasih tau, bukan ngasih cerita, ya... Eh, cerita dikit bolehlah, ya... Gak konsistem gue, ya? Biar!

Jadi, tadi gue yang agak telat nonton salah satu film terbarunya Ben Stiler yang judulnya The Secret Life of Walter Mitty. Entah, kenapa gue suka gitu sama quote-nya yang dipampang di perusahaan tempat dia kerja.

"to see the world, things dangerous to come to, to see behind walls, to draw closer, to find each other and to feel. That is the purpose of life"

Gue bukan bermaksud buat review film-nya. Jadi, kenapa gue tulis ini? Karena dalam beberapa waktu dekat, gue akan pergi ke tempat di mana akses internet, sinyal telepon seluler dan hingar bingar kota akan jarang terlihat.

Di mana, Nu?

Kalimantan.

Maklum, seorang lulusan sarjana pertanian yang gue dapet belom afdol kalau belum masuk hutan, kebun, atau mungkin rimba raya. Hehe...

Kalau hubungannya dengan kutipan itu dengan keadaan yang akan gur alami adalah bahwa hidup harus dihadapi seberapapun bahayanya dan sebisa mungkin kita untuk dapat merasakannya.
Gak mudah untuk pergi ke suatu tempat yang baru dalam jangka waktu yang entah berapa lama dan meninggalkan semua teman lama yang biasanya sering kita temui setiap hari, bahkan meninggalkan keluarga, orang yang kita cintai, dan masa kekanak-kanakan gue. Ini gak seberapa berat rasanya waktu gue hijrah dari kota Cirebon ke Jogja untuk menuntut ilmu, dengan bangganya masuk UGM dan teman-teman yang idealismenya sama di kampus.

Perjalanan setelah lulus kuliahlah yang membuat gue menjadi takut untuk melangkah lebih jauh, rasanya tanggungjawab yang gue akan terima bakal lebih besar, bukan lagi gue yang harus terus-terusan diberi jatah uang bulanan sama ortu semasa kuliah, namun gue harus memikirkan juga bagaimana bisa membalas kebaikan mereka.

Memang, gue gak pernah berfikir masuk pertanian dengan program studinya ilmu tanah dan menjadi petani, tapi kenapa harus disesali? Gue sendiri yang bisa nikmati hasilnya dan gue sendiri yang harus bisa melanjutkan cita-cita gue. Gak banyak lho orang yang mau masuk kuliah di fakultas pertanian, apalagi bidang studinya ilmu tanah? Kalau gue bisa bilang, "hidup itu bukan dijalani, tapi dinikmati"
Kalimantan? Terdengar seperti yang menakutkan saat pertama kali didengar oleh orang-orang. Katanya terkenal dengan ilmu hitamnya atau apalah.... Eits, gue niatnya di sana kerja, bukan untuk nyari musuh, gue juga masih pengen nyari ilmu, sesuai dengan cita-cita gue buat bisa lanjut ke jenjang Master di Wageningen University di bidang environment science.

Yah, begitulah info yang udah gue kasih dan sedikit cerita cita-cita di masa depan. Kalau kita hanya diam saja dan memilih-milih kerjaan dan keluar tanpa alasan jelas lalu buat apa kita punya mimpi namun hanya di alam bawah sadar saja? Wujudkanlah!
P.S
Untuk Ibu, Ayah, adik gue Farhan dan keluargaku semua yang banyak membantu gue, terima kasih sebesar-besarnya. Untuk sahabat Desti, Eriana, Iis, Agung, Belgys, Yusuf dan Hario, serta rekan-rekan gue termasuk Gumay dan yang gak bisa gue sebutin satu-satu, terima kasih atas tumpangan selama gue keliling ke tempat gue dipanggil tes kerja. I owe you so much, hope you guys are success and meet again!